The light in the empty sky
Anjani sontak kaget saat menerima notifikasi airdrop milik keenan, jantungnya merosot sampai ke lutut. Otaknya berputar mencari cara bagaimana keluar dari ruangan tiga kali tiga ini tanpa terlihat awkward.
Kepalanya sibuk bertanya apa yang dilakukan laki-laki itu disini. Ia buru-buru mematikan komputer dan merapikan buku yang berantakan diatas meja, kemudian dimasukkan ke dalam tote bag nya asal.
Sebelum membuka kenop pintu, Anjani mematung dan mulai merogoh tote bag nya untuk mengeluarkan cermin kecil yang bergambar rapunzel pada bagian belakangnya dan mulai mengoleskan matte lip tint pada bibir pucatnya. Tidak lupa merapikan helaian rambut yang keluar dari ikatan dan terlihat berantakan itu.
Anjani menarik nafas dalam. Kalau saja ada pintu lain untuk akses keluar masuk digedung ini, sudah pasti ia akan memilih pintu itu, asalkan tidak bertemu dengan laki-laki yang belakangan ini membuatnya berpikir keras hanya karena pertanyaan what are we. Jika bertanya salah, maka tidak bertanya akan membuatnya terus terjebak dalam zona ambigu. Bukan pilihan yang gampang bagi Anjani memberanikan diri untuk mempertanyakan kejelasan hubungan keduanya. Again, she’s just afraid that those people are just curious about her sincere feelings, then in the end, they just leave.
Anjani berlari kecil menuju tangga, bukan ingin cepat bertemu (iya sih sedikit), tapi rasa ingin melarikan diri lebih besar tertanam dalam hatinya, mengingat pesan terakhirnya saja belum direply oleh laki-laki itu.
“Mau kemana?”
Langkah Anjani terhenti, dan reflek menoleh kebelakang tepat pada sumber suara itu berasal. Jantung yang awalnya sudah merosot sampai ke lutut, kini semakin jatuh sampai ke inti bumi. Terlihat disana sesosok laki-laki bertubuh jangkung dengan perawakan yang lebih besar dari dirinya dan bahu seluas samudera itu, menyandarkan punggungnya pada dinding sambil melipat kedua tangan didepan dada.
Mata keduanya bertemu dan saling mengunci satu sama lain. Atmosfer yang semula dingin karena cuaca kota Bogor yang memang sedang diguyur hujan sejak beberapa hari belakang, menjadi semakin dingin bak kutub utara dan selatan dengan adanya pertemuan dua insan yang entah diinginkan atau tidak ini.
“mau kemana? buru-buru banget?..” tanya orang itu lagi.
Anjani bergelut dengan pikirannya sendiri, di satu sisi ia ingin meminta penjelasan atas apa yang terjadi diantara mereka berdua, kenapa pesan terakhirnya tidak dibalas, kenapa menghilang entah kemana seperti ditelan megalodon, kenapa terlihat hanya dia yg berharap sedangkan orang itu biasa saja, atau sekedar ingin bertanya apakah dia sudah makan atau belum. Disisi lain, gengsinya lebih besar daripada rasa ingin tahunya, ia kubur dalam-dalam pertanyaan yang memutar dalam otaknya itu, dan memilih diam seribu bahasa.
Keenan perlahan mendekat ke arah Anjani setelah melihat perempuan itu hanya berdiri diam namun dari sorot matanya sangat jelas terlihat banyak ragu yang tersirat.
Keenan tersenyum dan menarik tubuh Anjani kedalam pelukannya tanpa meminta persetujuan dari perempuan itu. Untuk saat ini dia tidak peduli mau ditendang, dipukul, digampar, atau ditimpuk pakai tas. Karena yang jelas dia sangat merindukan sesosok yang ada dalam rengkuhannya saat ini. And then resting his chin on her shoulder, sambil sesekali mengusap punggung dan rambut Anjani yang diikat asal. Hoping to cure his longing, but it wasn’t enough, he wants more.
“Jan, maafin aku ya..”
Parfum signature yang selalu menjadi sign of existence dari seorang Keenan mampu membuat bahu Anjani rasanya ingin runtuh. Kemana perginya tekad bulat yang terus ia sebut dalam otaknya dari tadi. Pada akhirnya ia biarkan tangan laki-laki itu beristirahat pada punggungnya, sedang kepalanya sibuk berperang melawan hati dan gengsi. Gengsi memang musuh semua perempuan didunia ini.
“Jan, ayo kita ngobrol, aku bisa jawab semua pertanyaan yang ada dalam kepala kamu, aku udah ada jawabannya jan, sejak awal. Kita ngobrol ya?” ucap Keenan yang masih merengkuh Anjani.
Tak kunjung mendapat respon, Keenan melepas pagutannya, dan menatap netra Anjani, “Aku bisa jelasin semua jan. Aku jelasain sejelas-jelasnya. Habis ini kamu boleh mukul aku, nendang, nimpuk pake tas kamu, apapun, atau mau peluk lagi juga boleh banget"
“Emang kamu mau jelasin apasih?” Satu kalimat akhirnya keluar dari mulut Anjani.
“Semua, apapun, tentang aku, tentang kamu, tentang kita"
“Emang kita kenapa?” Anjani mengulang pertanyaan yang sempat ia lontarkan delapan hari lalu sebelum akhirnya mereka saling tidak memberi kabar satu sama lain.
“Ayo kita cari tempat yang enak buat ngobrol"
“Kenapa gak disini aja?”
Keenan menggeleng, “gak bisa, kita cari ketempat lain aja ya?” pintanya lagi, “Gak akan lama, aku janji"
Daripada memperlama durasi ia harus bertemu Keenan, dan takut semua tekad awal dalam dirinya semakin runtuh, Anjani mengiyakan ajakan Keenan. Anjani juga tidak tahu tujuan laki-laki itu datang kesini memang hanya untuk bertemu dengannya atau mungkin ada urusan lain, yang jelas Anjani selalu tahu bahwa jarak Jakarta-Bogor tidak sebatas sepuluh atau lima belas menit. Anjani masih peduli bagaimana nanti kalau laki-laki itu pulang terlalu larut, bahaya pikirnya.
“Yaudah, tapi gak lebih dari jam 10" tegas Anjani dengan memperlihatkan layar ponselnya yang menunjukkan pukul 21.21 WIB.
Keenan mengangguk, tapi dalam dirinya ia tidak berjanji akan memulangkan Anjani sebelum jam sepuluh malam. Sebelum ia merapikan benang yang kusut diantara mereka.
Berbeda dari sebelumnya, kini Keenan tidak bingung lagi harus membawa Anjani kemana. Hari ini adalah hari yang sudah ia rencanakan sejak seminggu lalu untuk menyelesaikan apa yang memang harus diselesaikan.
Sekarang disinilah mereka, di salah satu tempat untuk melihat city light di kota Bogor dengan ketinggian 385 meter diatas permukaan laut.
Mereka berjalan berdampingan menelusuri jalan setapak untuk mencapai puncak lebih tinggi agar bisa melihat lautan lampu kota Bogor.
Hembusan angin membuat rambut panjang Anjani yang sudah tidak ia ikat dan dibiarkan terurai ikut tersapu dan sesekali menutupi wajahnya.
Sedangkan laki-laki disampingnya yang entah dalam pikiran apa membawa mereka ketempat sedingin ini, apalagi setelah hujan yang masih meninggalkan jejak basahnya pada untaian daun pepohonan. Siapa yang pergi melihat city light ditengah udara dingin dan langit yang sudah siap meruntuhkan isinya itu, tentu, keenan saja dan juga beberapa orang yang berpapasan dengan mereka.
Keenan tidak bisa untuk tidak kagum melihat Anjani. Selagi berjalan ia sesekali mencuri pandang pada perempuan yang ada disampingnya itu, tingginya hanya sebahu Keenan, dan sekarang sudah tenggelam dalam hoodie kebesaran milik Keenan. Pengen gue masukin kantong, pikirnya. Bagaimana orang bisa terlihat sangat cantik hanya karena sedang merapikan rambutnya yang disapu angin dan hanya mendapat sedikit cahaya dari lampu jalan yang tidak lebih dari 10 watt ini. Bahkan pemandangan city light yang dibangga-banggakan beberapa orang dan mendapat bintang 4.8 digoogle, kalah dengan pemandangan lain yang ada tepat disampingnya saat ini. Terbesit dalam hatinya sebuah keinginan untuk melihat pemandangan ini lebih lama lagi.
“Kita mau jalan sampai mana?” Anjani membuka suara setelah merasakan dirinya ditatap oleh seseorang yang ada disampingnya.
Keenan kembali sadar dari lamunan singkatnya dan kemudian mengalihkan pandangannya pada jalan setapak yang mereka lewati.
“Dikit lagi, kalau disini city lightnya ga keliatan" ucapnya.
“City light, tau-tau Bogor lagi pemadaman listrik massal" ujar Anjani asal.
Keenan yang mendengar itu terkekeh dan kembali melihat kearah Anjani. Tidak menyangka Anjani akan mengeluarkan celetukan asal yang menurutnya sangat lucu ini. Ini adalah salah satu dari sekian banyak hal yang ia rindukan dari perempuan itu.
“Jan..” panggil Keenan menggantung, senyumnya menipis dan berubah menjadi serius.
Pembawaannya tenang namun kepalanya ribut, ragu dengan segala hal yang akan ia sampaikan malam ini.
“It’s been several months after we have known for each other right. Untuk orang-orang mungkin mereka bakal bilang masih seumur jagung, but for me mau itu sebulan yang lalu, seminggu yang lalu, even sejam yang lalu. I will always feel blessed because fate brought us together..” Keenan menjeda dan melirik Anjani sebentar sebelum kembali menatap jalan, “..and im sorry, i still haven’t opened up about my life" sambungnya dengan nada melemah diakhir kalimatnya.
Keduanya kemudian sama-sama diam, kalut dalam pikiran masing-masing. Tercipta keheningan beberapa saat diantara mereka.
“You dont need to say sorry, Keenan.” Anjani membuka suara dan mengedarkan pandangannya pada city light yang mulai terlihat, sepertinya mereka sudah berjalan cukup tinggi.
“Harusnya dari awal aku juga sadar, kalau gak semua orang bisa terbuka tentang hidupnya ke orang baru. you did nothing wrong, jangan minta maaf. Jangan ngerasa terbeban kalau orang lain nanyain hidup kamu gimana, mau cerita atau enggak, itu jelas hak kamu" lanjutnya.
Tidak seperti ekspektasi awalnya, sama sekali tidak terpikirkan olehnya akan mendapat respon itu dari Anjani. Perempuan ini selalu ada cara untuk membuat dirinya (Keenan) jatuh berkali-kali pada orang yang sama.
Keenan semakin membulatkan tekadnya untuk menyampaikan apa yang ia rasakan pada perempuan itu malam ini. Harus malam ini.
“Dulu aku pernah dalam suatu hubungan..” Keenan kembali menggantung kalimatnya, meyakini bahwa ini adalah suatu hal yang tepat untuk ia ceritakan pada Anjani.
Karena satu cerita ini adalah asalan mereka berada disini sekarang.
Anjani spontan melihat kearah keenan yang lebih tinggi darinya itu, mengamati lekat-lekat, bingung kenapa tiba-tiba laki-laki itu menceritakan masa lalunya.
“…tapi gak lama jan. Kita putus setelah 3 bulan pacaran" Keenan melanjutkan dan tersenyum simpul mengingat kembali masa-masa itu.
“Kenapa?” tanya Anjani penasaran.
Keenan menghentikan langkah dan sepenuhnya memutar badan ke arah Anjani.
Anjani yang melihat itu reflek mundur sedikit karena jarak mereka yang terlalu dekat.
“City lightnya udah keliatan, kita duduk disini aja" ucap Keenan dan memutar tubuh Anjani pelan untuk melihat city light kota Bogor yang berada disebelah kiri mereka.
Anjani sempat terkagum untuk sepersekian detik, ia tidak menyangka pemandangan lampu kota akan seindah ini jika dilihat dari ketinggian. Seumur-umur dia hidup, baru kali ini ia punya kesempatan untuk melihat yang namanya view of city lights. Kemudian menyadari, ternyata hidupnya memang gitu-gitu aja, bahkan ia tidak tau ada tempat seindah ini disekitarnya.
“Kakinya bisa patah kalau berdiri terus, sini duduk" ucap Keenan memecah lamunan Anjani sambil menepuk-nepuk bagian sebelahnya yang sudah dialas menggunakan hoodie abu yang dibawanya tapi tidak ia pakai.
Pantas Anjani merasakan tidak ada beban tangan yang bertumpu pada kedua bahunya lagi. Ternyata si pemilik tangan sudah duluan duduk. Tanpa pikir panjang, Anjani ikut duduk disebelah Keenan dan menatap lurus penghujung Kota. Mereka duduk bersebelahan ditepi jalan setapak, menatap lurus kedepan, yang memperlihatkan betapa luasnya kota ini.
Keenan kembali mengarahkan pandangnya pada perempuan yang sedang ada disebelahnya saat ini. Lagi, Keenan tidak bisa menahan dirinya untuk tidak mengucap rasa syukur karena dipertemukan dengan sesosok manusia yang diciptakan ketika bumi tersenyum ini.
“cheater will always be a cheater, kamu pasti pernah denger kalimat itukan jan" ujar Keenan yang masih menatap kearah Anjani, yang ditatap ikut menoleh sampai akhirnya mata mareka bertemu.
“Duku aku pernah dalam suatu hubungan, terus putus karena orang itu have an affair sama temen aku sendiri. Padahal kita sering ketemu, satu fakultas, satu program studi. Setiap hari barengan. Ngasih kepercayaan ke orang yang kita percaya, dan ternyata mereka malah main-main sama kepercayaan itu, i just realized, oh, ini ya rasanya dikhianati, for the first and the last, aku gak mau ngerasain hal yang sama lagi" sambung Keenan yang sudah menatap lurus kedepan sambil menopang badannya dengan kedua tangannya dibelakang.
Anjani yang masih menatap Keenan, menyadari sesuatu yang sulit ia gambarkan untuk saat ini, membuatnya semakin penasaran dengan kisah itu.
“Pacar kamu selingkuh sama temen kamu sendiri? kok bisa?”
Keenan tersenyum simpul, “Bukan pacar, tapi mantan" ujarnya menekan kata mantan.
“Ya maksudnya pacar kamu yang dulu"
Keenan kembali terkekeh, “Gak ada yang tau jan motif orang selingkuh itu apa. Yang jelas sakit hatinya masih ada. Selingkuh itu hal paling brengsek yang ga akan ada kata maaf untuk itu. Sekali selingkuh, seterusnya udah pasti bakal selingkuh. Sejak saat itu aku gak mau lagi ngejalanin hubungan dulu" jawabannya.
Anjani mulai sampai pada titik paham kemana arah topik mereka akan berakhir. Ia mulai mengambil kesimpulan untuk setiap pertanyaan yang ada dalam kepalanya.
Apakah Keenan termasuk orang yang punya trauma tersendiri dalam menjalin suatu hubungan karena pernah dikhianati, dan itu alasan kenapa sampai detik ini hubungan mereka juga ikut kehilangan arah.
“Takut diselingkuhin lagi?” tanya Anjani lagi, memastikan.
Keenan menggeleng, “Bukan, atau mungkin iya. Tapi lebih ke instrospeksi diri dulu, bisa aja ternyata salahnya di Aku kan. Banyak yang bilang kalau aku anaknya gak komunikatif jan. Aku mulai introspeksi diri, ternyata bener aku emang gak bagus dalam komunikasi"
Anjani mengamati raut wajah Keenan. Ada rasa bersalah yang tergambar disana. Anjani kemudian meluruskan pandangannya kedepan, dan menarik nafas dalam.
“Kita hidup didunia ini jangan apa kata orang Keenan, kalau terus-terusan gitu, yang ada hidup kita makin diatur orang lain. Kasih diri kita kesempatan untuk dengerin apa kata kita, bukan kata orang" ucap Anjani mencoba menyalurkan pendapatnya.
Ada rasa hangat yang menjalar dalam Keenan setelah mendengar pernyataan Anjani barusan. Ada keinginan untuk memeluk perempuan itu dan tidak akan ia lepaskan lagi. Namun, masih ada ganjal yang harus ia selesaikan.
“Tapi itu ada buktinya jan"
Anjani kembali menatap Keenan, “Itu masa lalu, and in your past relationship, kamu gak salah, apa salahnya naruh kepercayaan untuk seseorang, kalau ternyata kita dikecewakan, ya berarti itu seleksi alam, Keenan. Tuhan itu selalu ada cara untuk nge-selekesi orang-orang dalam hidup kita, ada yang memang harus dipisahkan dan ada yang memang ditakdirkan untuk menetap. Masa depan masih bisa diperbaiki kalau kamu mau belajar jadi lebih baik"
“Tapi buktinya sekarang Kita disini jan"
Anjani mengernyitkan dahinya, mencoba memahami apa yang barusan Keenan katakan.
“Maksudnya?”
Keenan mencoba menyelami manik mata Anjani, berharap menemukan secercah harapan.
“Kita ga akan disini, ngobrol kayak orang asing yang baru ketemu barusan, kalau sejak awal aku bisa lebih lebih komunikatif, kalau sejak awal aku bisa lebih terbuka. Bisa aja sekarang kita udah ketawa ngetawain apa aja ngeliat dunia yang emang lagi lucu-lucunya. Itu bukti aku ga komunikatif jan, aku frustasi kebingungan sendiri nyari cara gimana ngasih tau ke kamu kalau aku bakal move ke london dan mungkin aja bakal disana dalam waktu yang lama, aku gak mau ada jarak diantara kita karena ketakutan yang aku ciptain sendiri. Tapi bukannya ngasih tau, aku malah diem. Bikin kamu ikut kebingungan"
Anjani menggigit bibirnya. Ia masih belum menemukan titik temu dalam pernyataan Keenan.
Keenan memperbaiki posisinya mengahadap Anjani. Ia meraih tangan perempuan itu yang sudah sedingin batu es, ia genggam dengan kedua tangannya dan menyalurkan sedikit kehangatan disitu.
“Jan, from what i just said before, aku beruntung bisa ketemu sama kamu, aku bersyukur ketemu sama kamu. Mau kamu orang yang punya kertas delapan tahun lalu itu ataupun bukan. Aku selalu bersyukur karena ketemu kamu, karena kamu Anjani Nadira Ayu. Dulu memang aku sempet hopeless mau nyari orang itu dimana, dan secara ajaibnya tuhan ngirim kamu hadir lagi dalam hidup aku. What do you think I’m looking for? gak ada jan. The first time i saw you after eight years itu, my heart whispered 'that’s the one’. Aku seneng denger kamu cerita tentang hidup kamu yang bahagia setelah apa yang kamu lewatin, aku seneng kamu bisa senyum secantik ini jan. Kalau sama kamu, aku selalu mikirin cara untuk bikin kamu bahagia terus, gimana caranya aku bisa bikin senyum kamu ga akan pernah hilang dari pipi kamu. And thats why, aku selalu ngasih kamu space untuk kamu ngeluapin apapun yang ada dalam kepala kamu, you desserve happiness, the real happiness, dan kebahagiaan aku cukup dengan itu jan"
Anjani tercekat mendengar kalimat kalimat Keenan barusan. Ada hal yang menusuk hatinya terlalu dalam, bukan karena sedih, tapi karena hatinya melebur dengan segala perasaan yang ada. Matanya mulai memanas, namun masih bisa ia tahan. Ternyata hal yang ia inginkan bukan sebuah akhir dan pemberhentian, tapi kejelasan. Anjani mencoba mengalahkan egonya dan mulai menata perasaannya.
Keenan mengangkat satu tangannya da n merapikan rambut Anjani yang disapu hembusan angin dengan telaten, ia selipkan pada belakang telinga perempuan itu, sedang satu tangannya masih setia menggenggam tangan Anjani, “Kalau kamu bilang, aku gak ngasih kamu akses untuk tau gimana hidup aku, you totally wrong. What will i tell you while my life is only about you, you’re the only one crosses my mind constantly throughout the day"
Keenan menarik nafasnya dan mulai menenangkan detak jantungnya yang sudah tidak karuan, mencoba merangkai kalimat per kalimat, merapikan benang kusut yang ada diantara mereka berdua.
“Anjani, I love saying your name, Anjani, Anjani..” Keenan terkekeh pelan sebelum melanjutkan kalimatnya, “ If you know, aku tau kamu kemaren-kemaren kamu pakai baju apa, minum kopi apa, rambut kamu di-style kayak apa. Aku tau jan. Aku mungkin emang keliatan brengsek banget dan semua orang bilang gitu ke aku. Aku gak bales pesan terakhir kamu itu bukan karena aku gak mau jawab jan, aku mau kita sama-sama nyari jawaban atas perasaan kita masing-masing. Kamu harus tau gimana frustasinya aku gak komunikasi sama kamu sehari aja, rasanya frustrasi banget. Aku tiap pagi ke bimbel kamu, cuma biar bisa liat kamu, dan biar aku ga makin gila karna ga ketemu kamu, perasaan aku gak main-main jan, im afraid of loosing you and i want to keep you in my life. Jan. aku sayang sama kamu bukan sebatas temen, bukan jan. Perasaan aku lebih dari itu. I want you for the rest of our lives, to make good memories together and forget the sad things in the past"
Mata Anjani semakin memanas sudah tidak bisa ia kontrol, tidak tahu sampai mana laki-laki ini akan menyampaikan perasaannya.
Keenan menarik Anjani kedalam pelukannya. Membiarkan perempuan itu tenggelam dalam dekapannya. Ia usap punggung dan pucuk kepala Anjani, sesekali meninggalkan kecupan di sana. Air mata perempuan itu jatuh bersamaan ketika ia mulai membalas pelukan Keenan dan melingkarkan tangannya pada punggung laki-laki itu.
Mereka diam dalam posisi saling mendekap satu sama lain, kurang lebih lima menit sampai akhirnya Keenan memberi jarak diantara mereka berdua. Ia menatap netra Anjani lekat-lekat, dan menghapus sisa air mata pada mata cantiknya.
“Kamu mau bilang sesuatu?” tanya keenan memastikan. Tangannya masih sibuk mengelus pipi lembut Anjani.
Dalam hati Anjani, tentu ada yang ingin ia sampaikan. Tapi tidak bisa ia luapkan karena jantungnya berdegup terlalu kencang. Yang jelas semua perasaan yang sudah ia tata tadi, sudah menjadi jawaban atas segalanya. Jika ditanya, bagaimana perasaannya, tentu ia sudah sangat jatuh pada laki-laki yang ada dihadapannya saat ini.
Anjani mengangkat kepalanya yang sedari tadi tertunduk, dan mulai menatap manik Keenan tidak kalah dalam dengan Keenan yang juga sedang menatap manik matanya.
Ada dua insan yang sudah sangat jatuh satu sama lain, sekarang sudah tidak ada ragu diantara keduanya.
Jemari Keenan mengelus lembut setiap inchi wajah Anjani, sampai tangannya turun menuju bibir Anjani dan menyentuhnya lembut. Anjani yang merasakan setiap sentuhan Keenan sudah tidak bisa berpikir jernih lagi, ada sensasi lain yang menggelitik perutnya, sensasi asing yang pertama kali ia rasakan.
Bukannya mengalihkan pandangannya, Anjani malah melakukan hal sebaliknya, ia semakin tenggelam dalam manik mata Keenan.
“Jan, Can i..?” satu pertanyaan tanpa sadar yang keluar dari mulut Keenan.
Anjani yang paham maksudnya mengangguk dan menutup matanya pertanda persetujuan atas dirinya.
Keenan yang menangkap sinyal itu, menangkup pipi Anjani dan mendekatkan wajah mereka, sampai yang terdengar hanya deru nafas keduanya yang tidak ingin kalah dengan ributnya hembusan angin malam itu. Keenan mempertemukan bibirnya dengan bibir ranum Anjani. He kissed her softly, no pressure. A kiss that means all the feelings that exist. Keduanya sudah jatuh sedalam yang tidak bisa mereka kira.
Mereka saling memberi jarak saat merasakan kekurangan oksigen satu sama lain.
Keenan menyelipkan rambut Anjani yang kembali berantakan kebelakang telinga, namun kali ini karna ulahnya, bukan angin. Kemudian tersenyum dan menarik Anjani agar masuk kedalam pelukannya lagi. Keenan menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Anjani, dan menghirup lekat-lekat aroma tubuh Anjani yang selalu menjadi candu baginya.
Meskipun ia bisa menciptakan sebuah parfum nomor satu didunia, namun baginya Anjani adalah sebaik-baik fregance yang pernah ada. And he likes it.
Diatas ketinggian 385 diatas permukaan laut, tersajikan pemandangan lampu kota yang semakin malam semakin berkelap-kelip, dan diterangi lampu jalan yang sudah mulai redup, serta dibawah langit yang sudah tak mampu menahan bebannya dan mulai menumpahkannya ke bumi. Terdapat dua insan yang saling mengunci erat satu sama lain seperti tidak ada lagi yang bisa memisahkan mereka berdua, menyalurkan segala rasa rindu yang sudah menyiksa keduanya.
They are the light in the empty sky.